BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Provinsi Sulawesi Tenggara banyak
mengandung bahan tambang dan sumber energi yang merupakan potensi dan sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang utama. Berdasarkan hasil penelitian
terdahulu, diketahui bahwa di daerah provinsi Sulawesi Tenggara terdapat bahan
tambang dari berbagai jenis batuan, baik batuan beku, batuan sedimen maupun
batuan metamorf. Salah satu jenis sedimen yang berpotensi untuk dijadikan bahan
tambang adalah sedimen laterit. Sedimen laterit adalah hasil pelapukan batuan
ultrabasa, baik dari jenis dunit, serpentinit, ataupun periodit, berupa tanah
yang mengandung endapan bijih besi atau besi-nikel (Fe-Ni) dan biasanya
berasosiasi dengan garnierite. Sedimen laterit banyak dimanfaatkan untuk
penambangan bijih nikel dan/atau besi-nikel (Fe-Ni) (Simandjuntak dkk, 1994).
Bijih nikel di Indonesia merupakan
silikat dan oksida yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan ultrabasa
(periodit, serpentinit, dan lain-lain). Akumulasi nikel dalam lapisan laterit
terjadi melalui proses yang kompleks, antara lain reduksi unsur aluminium dan
kalsium dalam batuan. Biasanya nikel dipakai sebagai bahan campuran dalam
menghasilkan logam yang mempunyai sifat anti karat, tahan terhadap perubahan
temperatur mendadak serta mempunyai sifat elastisitas yang tinggi.
Desa Torobulu merupakan salah satu desa
yang secara administrasi berada pada kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe
Selatan. Bedasarkan peta Ikhtisar Geologi dan potensi bahan tambang Sultra
(1995), di desa ini terdapat batuan ultramafik (ultrabasa) (Dinas Pertambangan
Sultra, 2005). Dari hasil penelitian terdahulu (Hazria 2007), diperoleh bahwa
dalam sedimen laterit di daerah Torobulu terdapat sekitar 1,7 % nikel.
Penelitian yang dilakukan Hazria (2007),
hanya mengambil sampel permukaan, sehingga belum dapat dijadikan indikator
untuk memperoleh informasi persentase kandungan nikel di bawah permukaan. Salah
satu metode yang dapat dilakukan adalah analisis kandungan nikel perlapisan
untuk melihat stratigrafinya. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan pada penentuan
stratigrafi kandungan nikel dalam sedimen laterit di daerah Torobulu, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi jenis unsur-unsur adalah
XRF (X-Ray Fluorescence). XRF adalah alat yang menggunakan metode spektrometri
untuk menganalisis kandungan unsur bahan tertentu. Alat ini mempunyai
keunggulan analisis yang lebih cepat dibanding analisis dengan alat lain. Spektrometri
XRF memanfaatkan sinar-X yang dipancarkan oleh bahan yang selanjutnya ditangkap
oleh detektor untuk dianalisis kandungan unsurnya. Selama ini, alat XRF antara
lain digunakan untuk menganalisis paduan besi, pelat tambaga, paduan aluminium,
batuan, mineral, dan kerak. Bahan yang dapat dianalisis berupa padat massif,
pelak maupun serbuk. Analisis unsur dilakukan secara kualitatif maupun
kuantitatif. Analisis kuantitatif untuk menentukan jumlah unsur yang terkandung
dalam bahan (http://www.ns.ui.ac.id/seminar2005/Data/JPC, 2008).
B. Batasan Masalah
Penelitian ini
akan dibataskan pada penentuan kadar nikel dan mineral lain yang terkandung dalam
sedimen laterit di daerah Torobulu Provinsi Sulawesi Tenggara dengan metode
X-Ray Fluorescence (XRF).
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di
atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah menentukan kadar nikel dan
mineral lain yang terkandung dalam sedimen laterit di daerah Torobulu Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan metode X-Ray Fluorescence (XRF).
D.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah menentukan profil
kadar nikel dan mineral lain yang terkandung dalam sedimen laterit di daerah
Torobulu Provinsi Sulawesi Tenggara dengan menggunakan metode X-Ray
Fluorescence XRF.
E.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Memberikan
informasi tentang profil kadar/kandungan nikel dan mineral lain yang terkandung
dalam sedimen laterit di daerah Torobulu Provinsi Sulawesi Tenggara.
2.
Sebagai
bahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang terkait dengan masalah yang
diteliti.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Sedimen Laterit
Batuan Sedimen merupakan batuan endapan
yang berasal dari material-material lepas dari proses-proses secara fisis,
biologi, ataupun secara kimia. Material-material ini tertransport oleh air,
angin, dan gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah (cekungan), dan kemudian diendapkan.
Sedimen yang terakumulasi tersebut mengalami proses litifikasi atau proses
pembentukan batuan. Proses yang berlangsung adalah kompaksasi dan sementasi
yang mengubah sedimen menjadi batuan sedimen. Setelah menjadi batuan sifatnya berubah
menjadi keras dan kompak (Magetsari, 2000).
Kebanyakan batuan sedimen ditransport
oleh arus yang akhirnya diendapkan, sehingga cirri utama batuan sedimen adalah
berlapis. Batas antara satu lapis dengan lapis lainnya disebut bidang-bidang
perlapisan. Bidang perlapisan dapat terjadi akibat adanya perbedaan warna,
besar butir, dan jenis batuan antara dua lapisan (http://tiacher.blogspot.com/,2008).
Salah satu jenis sedimen adalah sedimen
laterit. Sedimen laterit berupa tanah yang mengandung endapan bijih besi dan
besi-nikel dan biasanya berasosiasi dengan garnierite, yang merupakan hasil
pelapukan batuan ultrabasa, baik dari jenis dunit, serpentinit, atau peridotit
(Simandjuntak dkk., 1994). Istilah laterite bisa diartikan sebagai endapan yang
kaya akan iron-oxide, miskin unsur silika dan secara intensif ditemukan pada
endapan lapukan di iklim tropis. Batuan induk dari endapan nikel laterit adalah
batuan ultrabasa; umumnya harzburgit (peridotit yang kaya akan unsur
ortopiroksin), dunit dan jenis peridotit yang lain (http://afitchan.multiply.com/,2009).
Endapan nikel terbentuk melalui suatu
proses yang panjang dan memakan waktu lama. Proses pembentukan endapan laterit
nikel dimulai ketika batuan mengalami pengangkatan sehingga tersingkap di
permukaan bumi, batuan tersebut akan terurai. Adanya pelapukan kimiawi dan
fisika menghancurkan batuan tersebut hingga menjadi tanah (soil). Apabila
batuan tersebut mengandung nikel maka pelapukan akan menyebabkan kandungan
nikel semakin tinggi. Proses pembentukan bijih laterit nikel dimulai dari
proses pelapukan batuan ultrabasa (Dunit atau Peridotit).Batuan ultrabasa
tersusun atas atas mineral olivine, piroksen, amfibol, dan mika. Olivin pada
batuan ini mempunyai kandungan nikel sekitar 0,3 %. Batuan ultrabasa yang
mengandung nikel ini mengalami proses serpentinisasi, yaitu proses terisinya
retakan atau kekar oleh mineral serpentin yang kemudian mengalami proses
kimiawi yang disebabkan karena adanya pengaruh dari tanah. Selanjutnya oleh
pengaruh iklim setempat batuan induk mengalami pelapukan fisika dan kimiawi.
Proses tersebut mengakibatkan terbentuknya endapan laterit nikel (Prasetiawati,
2004).
Pada musim penghujan, air akan memasuki
retakan-retakan menyebabkan hancurnya mineral-mineral penyusunan batuan induk.
Mg, Si, Ni dan sebagian Fe akan larut dan terbawa sesuai dengan aliran air
tanah dan akan menghasilkan mineral-mineral baru pada proses pengendapan
kembali. Dalam larutan Fe bersenyawa dengan oksida dan membentuk Ferri
Hidroksida yang nantinya mengendap di dekat permukaan tanah menjadi hematit,
goetit, dan kobaltit. Pada rekahan-rekahan batuan ultrabasa sebagai Mg
mengendap menghasilkan magnesit, dolomite, dan kalsit yang di lapangan dikenal
sebagai akar-akar pelapukan (roots of weathering) (Prasetiawati, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan bijih nikel laterit adalah batuan asal, iklim, reagen-reagen, kimia
dan vegetasi, struktur vegetasi, struktur geologi, topografi, dan waktu.
1.
Batuan
asal; Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan
nikel laterit, macam batuan asalnya adalah batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada
batuan ultrabasa tersebut :
a.
Terdapat
elemen Ni yang paling banyak diantara batuan lainnya.
b.
Mempunyai
mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan
piroksin.
c.
Mempunyai
komponen-komponen yang mudah larut dan memberikan lingkungan pengendapan yang
baik untuk nikel.
2.
Iklim;
Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi kenaikan dan
penurunan permukaan air tanah juga dapat menyebabkan terjadinya proses
pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur yang cukup besar akan
membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahan-rekahan
dalam batuan yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada batuan.
3.
Reagen-reagen
kimia dan vegetasi; Yang dimaksud dengan reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur
dan senyawa-senyawa yang membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang
mengandung CO2 memegang peranan penting dalam proses pelapukan
kimia. Asam-asam humus menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat merubah pH
larutan. Asam-asam humus ini erat kaitannya dengan vegetasi daerah. Dalam hal
ini, vegetasi akan mengakibatkan:
a.
Penetrasi
air dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar
pohon-pohonan.
b.
Akumulasi
air hujan akan lebih banyak.
c.
Humus
akan labih tebal. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana hutannya lebat
pada lingkungan yang baik akan terdapat endapan nikel yang akan lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi.
Selain itu, vegetasi dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap
erosi mekanis.
4.
Struktur
geologi; Seperti diketahui, batuan beku mempunyai porositas dan permeabilitas
yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit. Dengan adanya
rekahan-rekahan pada batuan ultrabasa tersebut akan lebih memudahkan masuknya
air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif.
5.
Topografi;
keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta
reagen-reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak
perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi
lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi endapan
umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan sedang, hal
ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk potografi. Pada
daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air meluncur (run off) lenih banyak
daripada air yang meresap, sehingga pelapukan kurang intensif.
6.
Waktu;
Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena
akumulasi unsur nikel cukup nikel.
Secara
umum, endapan nikel laterit dibedakan menjadi beberapa lapisan, yaitu tanah
penutup, limonit, saprolit, dan bedrock.
1.
Tanah
penutup (Overburden)
Merupakan bagian yang paling atas dari
suatu penampang laterit. Komposisinya adalah akar tumbuhan, humus, oksida besi
dan sisa-sisa organik lainnya. Warna khas adalah coklet tua kehitaman dan
bersifat gembur. Kadar nikelnya sangat rendah sehingga tidak diambil dalam
penambangan.
2.
Limonit
Merupakan hasil pelapukan lanjut dari
batuan beku ultrabasa. Komposisinya meliputi oksida besi yang dominan, goethit,
dan magnetit. Dalam limonit dapat dijumpai adanya akar tumbuhan, meskipun dalam
persentase yang sangat kecil. Kemunculan bongkah-bongkah batuan beku ultrabasa
pada zona ini tidak dominan atau hampir tidak ada, umumnya mineral-mineral di
batuan beku basa-ultrabasa telah terubah menjadi serpentin akibat pelapukan
yang belum tuntas.
3.
Saprolit
Zona ini merupakan zona pengayaan unsure
nikel. Komposisinya berupa oksida besi, serpentin sekitar <0,4 %, kuarsa
magnetit dan tekstur batuan asal yang masih terlihat. Kemunculan
bongkah-bongkah sangat sering dan pada rekahan-rekahan batuan asal dijumpai
magnesit, serpantin, krisopras, dan garnierit. Bongkah batuan asal yang muncul
pada umumnya memiliki kadar silikon dioksida (SiO2) dan magnesium
oksida (MgO) yang tinggi serta nikel dan besi yang rendah.
4.
Batuan
dasar (Bedrock)
Batuan dasar
merupakan batuan asal dari nikel laterit yang umumnya berupa batuan beku
ultrabasa, yaitu harzburnit dan dunit yang pada rekahannya telah terisi oleh
oksida besi 5-10 %, garnierite minor dan silika > 35 %. Permeabilitas batuan
dasar meningkat sebanding dengan intensitas serpentinisasi (http://digilib.its.ac.id/,2008).
B.
X-Ray
Fluorescence
X-Ray
Fluorescence adalah alat yang dapat
dipakai untuk mendeteksi unsur dan menentukan konsentrasinya. Fluoresensi
(fluorescence) merupakan gejalan dimana suatu benda dapat memancarkan cahaya
beberapa selang waktu kemudian setelah benda itu menerima cahaya dari luar atau
menerima tembakan dari aliran partikel.
Unsur atom yang tereksitasi pada
sampel akibat penembakan sinar-X dari sumber membangkitkan sinar-X dengan
panjang gelombang tertentu. Prose ini disebut fluoresensi sinar-X. Karena
panjang gelombang fluoresensi adalah karateristik dari unsur yang terksitasi,
maka pengukuran panjang gelombang ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
unsur didalam sampel (Sasli, 2004).
Gambar 1. Skema analisis menggunakan XRF
Gambar 1
memperlihatkan skema analisis dengan menggunakan XRF. Analisis menggunakan XRF
dilakukan berdasarkan identifikasi dan pencacahan sinar-X karateristik yang
terjadi dari peristiwa efek fotoloistrik saat electron dalam atom target
terkena sinar berenergi tinggi. Bila energy sinar tersebut lebih tinggi dari
pada energy ikat electron dalam orbit K, L atau M pada atom target, maka
electron atom target akan keluar dari orbitnya. Dengan demikian, atom target
akan mengalami kekosongan electron yang selanjutnya akan diisi eloh electron
dari orbital yang lebih luar diikuti energy berupa sinar-X (http://www.ns.ui.ac.id/seminar2005/Data/JPC-03.pdf.2006).
Electron dapat
menembus orbital atom secara absorbs
dari gelombang cahaya (foton) dengan energy yang cukup. Energy foton harus
lebih besar dari pada energy electron yang berada pada inti atom. Apabila
electron terdalamnya menumbuk atom, electron dari tingkat orbital yang
mempunyai energy yang lebih besar akan mentransferkan energinya ke tingkat
orbital yang mempunyai energy yang lebih rendah. Karena transisi tersebut,
foton memungkinkan untuk dapat teremisi dari atom. Sinar fluoresensi ini
terjadi akibat beda energy antara dua orbital yang terbentuk dari transisi
electron. Karena beda energy antara dua kulit orbital khusus pada elemen selalu
sama foton yang teremisi pada saat perpindahan antara dua tingkatan energy
tersebut akan selalu mempunyai energy yang sama (http://www.learnxrf.com/basicxrfteori.htm,2007).
Sinar-X yang
dihasilkan dari peristiwa di atas ditangkap oleh detector kemudian diproses
sehingga menghasilkan spectrum sinar-X berupa gambar dua dimensi. Sumbu x
(horizontal) berupa energy (keV) sedangkan sumbu y (vertical) berupa
cacahan/intensitas unsur. Hasil yang diperoleh dari gambar spectrum memberikan
informasi jenis unsur dalam sampel. Untuk memperoleh komposisi jumlah unsur
dalam sampel, maka dilakukan analisis kuantitatif yang dinyatakan dalam
prosentasi berat
PENENTUAN STRATIGRAFI
KANDUNGAN NIKEL PADA SEDIMEN LATERIT
OLEH :
RUDI SURYADI
F1B1 08 034
PROGRAM STUDI
FISIKA
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2011
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Tempat
Penelitian
Sampel diambil
dari desa Torobulu, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Preparasi
sampel dilakukan di Laboratorium Pengujian dan Pengembangan Potensi ESDM
Kendari.
B.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan
yang digunakan dalam penelitian ini diperhatikan dalam table berikut :
Tabel 1. Alat yang
digunakan
No
|
Alat
|
Manfaat
|
1.
|
Betel
dan palu geologi
|
Untuk
mengambil sampel dalam bentuk bongkahan
|
2.
|
Plastik
|
Untuk
tempat sampel
|
3.
|
Spektrometer/XRF
|
Untuk
menganalisis unsur
|
4.
|
Saringan
|
Untuk
memisahkan sampel serbuk
|
5.
|
Mortar
|
Untuk
menggerus sampel agar menjadi serbuk
|
6.
|
Meteran
|
Untuk
mengukur kedalaman dan ketebalan lapisan sedimen laterit
|
Tabel 2. Bahan yang
digunakan
No
|
Bahan
|
Manfaat
|
1.
|
Sedimen
laterit
|
Sebagai
sampel
|
2.
|
Polivin
|
Sebagai
bahan pengeras sampel
|
3.
|
Borik
|
Sebagai
pengalas sampel
|
4.
|
Tisu
|
Untuk
membersihkan alat
|
C.
Prosedur
Penelitian
1.
Tahap
Pengambilan Sampel
Sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah sampel bantuan perlapisan sedimen laterit
yang berasal dari daerah torobulu. Sampel bantuan sedimen laterit ini meliputi
tanah penutup, limonit, samprolit, dan batuan induk atau bedrock yang diambil
dalam bentuk bongkahan dengan menggunakan betel dan palu geologi dan diukur
kedalaman.
2.
Tahap Preparasi
Sampel
Adapun tahap
preparasi sampel dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Pengerusan
sampel
Pengerusan
dilakukan dengan menggunakan mortar. Tujuan dari pengerusan ini adalah membuat
sampel dalam bentuk serbuk yang sangat halus karena sampel yang dipakai dalam analisis
XRF harus memiliki ukuran butiran yang sangat kecil.
b.
Penyaringan
Sampel yang telah
menjadi serbuk diayak dengan menggunakan saringan ukuran 200 mesh. Pemilihan
ukuran butiran tersebut sesuai dengan ukuran standar sampel agar dapat
dianalisis dengan spectrum XRF yaitu
ukuran 200 mesh.
c.
Pembuatan
Sampel dalam bentuk Press powder
Dalam membuat
sampel press powder hal-hal yang dilakukan sebagai berikut:
1.
Menimbang
sampel sebanyak 5 gram yang telah dimasukan kedalam gelas kaca kemudian
menimbang polivin sebanyak 0,75 gram dan boric sebanyak 2 gram.
2.
Sampel
dan polivin dimasukan kedalam mortar kemudian diaduk dengan tujuan agar sampel
tercampur rata dengan polivin.
3.
Menempatkan
ring press powder kedalam harsog kemudian memasukan borig ke ring press powder
tersebut.
4.
Alat
press powder (herzog) siap dioperasikan.
5.
Dalam
waktu kurang lebih sepuluh detik sampel telah terbentuk press powder kemudian
dimasukan kedalam oven selama 30 detik.
3.
Tahap
Pengambilan dan Analisis Data
Pada tahap pengambilan data dengan
alat spectrummeter sampel yang telah berbentuk press powder diletakkan didalam
holder. Setelah sampel siap holder dimasukan kedalam specimen chander kemudian
ditutup. Alat spektrummeter siap untuk dioperasikan dengan terlebih dahulu
memperhatikan koneksi alat spectrometer dengan computer.
Pengukuran XRF untuk sampel dilakukan
pada kondisi yang sama yaitu dengan menggunakan spectrometer tipe Advant’ XP+.
Keluaran spectrometer akan terekam dalam CPU yang telah diset bersamaan dengan
proses pengambilan data. Data yang terekam berupa identitas (I) dan energy
unsure (E). Data ini langsung dikonversi oleh alat dalam bentuk angka sehingga
bentuk keluarannya berupa konsentrasi unsure. Hasil analisis XRF berupa
persentase kandungan unsure dalam sedimen laterit. Presentase nikel selanjutnya
diplot secara vertical terhadap kedalaman untuk melihat stratigrafi kendungan
nikel.
No comments:
Post a Comment